Senin, 07 Maret 2011

SASTRA

“PERLUNYA PEMBENAHAN DALAM PEMBELAJARAN SASTRA”

Dalam pandangan Putu Wijaya, era 1945 merupakan masa ideal bagi pertumbuhan sastra Indonesia. Saat itu, lahir sekaligus eksponen penyair dan kritikus sastra yang kuat. Sinergi mereka menciptakan iklim sastra yang dinamis dan progresif. Dalam hal ini, Chairil Anwar dan HB Jassin menjadi ikon paling tipikal. Chairil mendobrak kecenderungan sastra Pujangga Baru yang penuh bunga-bunga kata. Sajak-sajaknya plastis dan mengusung aforisma. Dia hadirkan dari kata demi kata. Tak hanya itu karya-karya Chairil juga member saham bagi kemajuan bahasa Indonesia.
HB Jassin hadir dengan kritik yang cerdas dan bernas. Tokoh berjuluk Paus Sastra Indonesia itu menjadi semacam batu asah yang manajamkan mata pisau estetis Chairil dan sastrawan seangkatannya. ‘Selepas angkatan 1945, sastra Indonesia kehilangan kritikus yang teliti dan mumpuni seperti HB Jassin. Kondisi ini tak memenihi prasyarat dari kelahiran iklim sastra yang ideal,” kata Putu Wijaya dalam diskusi” ‘ Membuka Tabir Dunia dengan Sastra: Telaah Jejak Para Inspirator’.
Sejatinya ujar Putu Wijaya banyak sastrawan sekelas Chairil Anwar yang lahir sesudahnya, misal Sutardji, Calzoum Bachri atau WS Rendra. Namun ketiadaan kritikus andal membuat eksistensi mereka tak melampaui luar biasa. Masyarakat seperti dibutakan oleh para kehadiran para pendobrak itu. ‘Sastra Indonesia dikatakan sehat jika masyarakat mendukung terpenuhi, antara lain antara sastrawan, karya, kritikus, penerbit, apresiasi dan proses pembelajaran.
Disisi lain, metode pembelajaran saat ini juga punya andil. Secara ekstrim, Putu Wijaya ada yang salah dalam system pembalajaran sastra. Di sekolah-sekolah, pelajaran bahasa memperoleh porsi yang lebih ketimbang sastra. Pengajaran pun berlatarkan pendidikan linguisti. Butuh metode baru untuk merubah keadaan (Suara Merdeka. 2008: N)
Dari pendapat para pakar tentang sastra dalam pembelajaran memang harus ada pembenahan mulai dari pendidik maupun dari segi porsi dalam pembelajaran. Porsi pembelajaran sastra dan bahasa harus dibuat seimbang sebab berdasarkan pengalaman terdahulu porsi pembelajaran bahasa lebih banyak dari pada sastra, sehingga sastra dalam pembelajaran di sekolah terlihat vakum karena didominasi dengan pembelajaran bahasa, padahal sastra merupakan wujud dari apresiasi bahasa seorang sastrawan dalam sebuah karya sastranya yang meliputi. Style, diksi, bahasa figuratif, peribahasa, merupakan ciri khas dari karya sastra guna untuk mendapatkan nilai estetik sehingga menarik bagi para pembacanya.
Maka dari itu pembelajaran sastra harus diterapkan sejak dini disekolah mulai dari jenjang yang rendah, menengah, hingga jenjang yang lebih tinggi yaitu perkuliahan. Sehingga sastra dalam pembelajaran memiliki peran yang penting, mka kita sebagai calon guru bahasa dan sastra indonesia, ini merupakan PR tersendiri bagi kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar